The Theory of the Leisure Class: Tren Berpakaian sebagai Ekspresi Budaya Konsumtif

Ayu Dwi Marintan
Sosiologi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

The Theory of the Leisure Class: Tren Berpakaian sebagai Ekspresi Budaya Konsumtif

Teori Sosiologi Kontemporer merupakan teori yang ditujukan untuk mengkritisi teori sosiologi klasik. Munculnya teori ini berangkat dari kekecewaan masyarakat Eropa terhadap ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, utamanya setelah terjadinya Perang Dunia I dan II, serta tragedi Holocaust. Kemajuan bangsa Eropa “yang katanya” akan membawa masyarakat Eropa menjadi manusia yang lebih elegan, terbukti melakukan kolonialisme, rasisme, dan perbudakan. Jika tokoh-tokoh dari teori Sosiologi Klasik, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan George Simmel, bersikap optimistis sebelum terjadinya perang dunia. Maka, tokoh-tokoh teori kontemporer, seperti Edward Said, Bauman, Giddens, dan Parsons, cenderungnya bersikap pesimistis setelah terjadinya perang dunia. Sehingga muncul konsep-konsep dan asumsi-asumsi baru sebagai kritik, dengan memperinci pemikiran-pemikiran tokoh sosiologi sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran paradigma masyarakat, misalnya dari modernisme ke postmodernism. Pergeseran paradigma ini telah diterima secara sosial dan menciptakan tatanan kehidupan yang baru melalui proses globalisasi. Salah satu ruang lingkup perkembangan pemikiran postmodernism adalah teori konsumsi, yang populer diperkenalkan oleh Douglas & Isherwood melalui karyanya, The World of Goods: Towards An Anthropology of Consumption (1978). Douglas dan Isherwood mencoba menelaah cara kerja ekonomi menggunakan perspektif antropologi sosial dan membahas bagaimana barang digunakan dalam budaya sebagai alat komunikasi. Pada era postmodernism tercipta pola-pola konsumsi baru yang kemudian menjadi ciri khas dari kehidupan postmodernism. Pola-pola konsumsi baru tersebut membuat setiap orang bisa menikmati apa saja yang disediakan, disebabkan oleh khayalan. 

Thorstein Veblen menyebut perilaku konsumerisme sebagai kelas pemboros (leisure class). Dalam bahasa Inggris, leisure diartikan sebagai waktu luang, maka teori leisure class tentu memiliki keterkaitan dengan waktu luang. Waktu luang biasanya identik dengan aktivitas individu di luar pekerjaan atau tanggung jawab sehari-hari untuk sekedar menghibur diri sendiri dari kejenuhan bekerja. Secara singkat, teori leisure class dapat dipahami sebagai kelas pemboros yang mengeluarkan banyak uang dalam memanfaatkan waktu luang untuk mewujudkan apa yang diinginkan. Sebagian besar masyarakat saat ini cenderung memanfaatkan waktu luang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti konsumerisme secara berlebihan. Perspektif yang dibawakan Veblen berkonsentrasi pada tanda dan simbol yang dikomunikasikan melalui konsumsi barang-barang material. Veblen juga menegaskan manusia sebagai makhluk rasional mengejar status sosial untuk kebahagiaan diri sendiri. (Sumber : PPT Kelompok 9, slide 6&8)


“In order to gain and to hold the esteem of men it is not sufficient merely to posses wealth or power. The wealth or power must be put in evidence, for esteem in awarded only on evidence”. 

(Thorstein Veblen, 1899).


Pendapat Veblen mengenai perilaku konsumtif masyarakat yang mengejar status sosial untuk kebahagiaan diri sendiri, dapat ditemukan dalam gaya berpakaian masyarakat saat ini. Pakaian menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dalam penampilan dan gaya keseharian. Pakaian tidak hanya sebagai penutup tubuh, lebih dari itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas diri. Kebiasaan masyarakat membeli pakaian sesuai dengan model yang sedang berkembang dilakukan untuk menunjukkan eksistensinya di hadapan teman-temannya. Perilaku semacam ini tidak hanya ditemukan di kalangan masyarakat kota yang hidup dengan kekayaan, namun hampir di seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat tidak akan pernah merasa puas sebab adanya persaingan objek bermerek. Mereka yang tidak bisa mengikuti tren dianggap “kudet” dan banyak sekali dari mereka yang dijauhi karena penampilannya tidak menarik. Keadaan tersebut membuat setiap orang selalu berkeinginan untuk berbelanja mengikuti model yang berkembang, meskipun hal tersebut justru mengakibatkan konsumsi yang berlebihan. 

Saat ini pemaknaan terhadap waktu luang telah berganti sebagai kegiatan mengonsumsi di tempat perbelanjaan. Ini didasarkan pada penemuan dari riset melalui tata cara asosiasi dengan kata kunci waktu senggang. Kemudian menghasilkan waktu senggang bermakna konsumsi: tempat perbelanjaan, online, makanan, traveling, berbelanja, dan menonton. Hasil penelitian tersebut mempertegas bahwa konsumerisme benar-benar telah menjadi pengisi waktu luang seluruh masyarakat luas. Sejalan dengan itu, pengaruh gaya hidup hedonisme menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat dalam melakukan kegiatan konsumsi yang berlebih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fungsi dan Disfungsi Konflik Sosial Menurut Lewis A. Coser

Memahami konsep Ideologi dan Utopia : Karl Mannheim

TEORI DRAMATURGI-ERVING GOFFMAN